
Kebiasaan Orang yang Tetap Tenang Meski Menghadapi Kekacauan
Hidup sering terasa seperti ujian tanpa akhir. Email menumpuk, drama keluarga muncul tiba-tiba, dan suara mesin mobil mendadak aneh sehari sebelum perjalanan jauh. Kekacauan bisa datang kapan saja, dan tidak semua orang meresponsnya dengan tenang. Ada yang langsung panik, kewalahan, atau malah reaktif. Namun, ada juga tipe orang yang tetap tenang, stabil, dan hampir tidak tergoyahkan, bahkan saat mereka juga menghadapi kekacauan yang sama.
Apa rahasianya? Bukan karena memiliki DNA khusus atau hasil pencerahan spiritual. Tapi kebiasaan. Hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari, yang diam-diam menjaga sistem saraf mereka tetap stabil. Berikut ini tujuh kebiasaan yang sering ditemukan pada orang-orang yang tetap tenang, apa pun yang terjadi di sekitar mereka.
1. Mereka Selalu Menyisihkan Waktu Tenang
Kedengarannya sederhana, tapi ini adalah fondasi utama. Orang yang tenang tidak main-main soal waktu tenang mereka. Bukan berarti harus membuat ritual pagi ala Pinterest dengan teh herbal dan jurnal syukur. Kadang mereka hanya duduk sebentar di ujung tempat tidur, tanpa menyentuh ponsel.
Intinya, mereka memulai hari dengan diri sendiri, bukan dengan dunia yang langsung berisik dari notifikasi. Salah satu trik simpel adalah membiarkan ponsel dalam mode pesawat sampai selesai sarapan. Karena jujur saja, kamu tidak harus langsung ikut campur dalam “keadaan darurat” orang lain bahkan sebelum sempat mengunyah roti panggangmu.
2. Mereka Memeriksa Tubuh Mereka, Bukan Hanya Kalender
Pernah berhenti sejenak dan bertanya: tubuh ini sebenarnya lagi butuh apa? Orang yang tenang tidak hidup hanya dari leher ke atas. Mereka rajin memindai tubuh, merasakan apakah rahang mengencang, napas menjadi pendek, atau perut keroncongan.
Kadang cukup dengan melemaskan bahu, bernapas dalam saat di lampu merah, atau minum segelas air setelah rapat Zoom. Kebiasaan mikro ini mengurangi tekanan yang bisa meledak tiba-tiba di malam hari. Ketika kamu peka terhadap sinyal tubuh, kamu punya kontrol lebih besar untuk menavigasi emosi. Bukan malah jadi korban dari tubuh yang kelelahan dan otak yang kepanasan.
3. Mereka Melatih Diri untuk "Melepas" Hal Kecil yang Mengganggu
Ini agak berlawanan dengan intuisi: orang yang tenang justru jago melepaskan, bukan mengontrol segalanya. Mereka belajar tidak ribut soal hal-hal kecil. Misalnya, tidak marah ketika terjebak macet, tidak memperbaiki kesalahan kecil orang lain, dan tidak terus mengingat kalimat canggung yang diucapkan kemarin.
Ini seperti latihan kecil. Semakin sering kamu melepas di momen-momen ringan, semakin kuat otot "santai aja" kamu saat menghadapi badai sesungguhnya. Salah satu teman bahkan punya pertanyaan sakti saat ingin reaktif: "Apakah ini hal yang layak aku bawa ke liang kubur?" Biasanya, jawabannya: tidak juga sih.
4. Mereka Sangat Selektif dengan Apa yang Masuk dalam Pikiran Mereka
Kamu mungkin sudah hati-hati dengan apa yang dimakan. Tapi bagaimana dengan apa yang dikonsumsi oleh pikiran? Orang yang tenang tahu betul: apa yang kamu tonton, dengar, dan gulirkan di layar adalah bahan bakar untuk sistem saraf. Dan beberapa bahan bakar bikin otakmu kebakaran.
Mereka tidak langsung buka media sosial saat bangun tidur. Tidak larut dalam komentar netizen. Tidak terus menerus menyerap berita buruk tanpa jeda. Bahkan 10 menit pertama setelah bangun bisa jadi penentu nada emosional harimu. Ingin tenang? Pilih masukan yang bikin kamu waras, bukan was-was.
5. Mereka Memberi Ruang untuk Merasakan Emosi
Kedengarannya aneh, tapi orang yang tenang benar-benar menyisihkan waktu untuk merasakan emosinya. Bisa dalam bentuk journaling, ngobrol dengan teman yang suportif, atau sesi terapi mingguan. Mereka sadar: emosi bukan musuh. Justru menekannya yang berbahaya.
Perasaan itu seperti air yang kalau tidak diberi saluran, bisa meluap tiba-tiba. Sedikit ruang setiap hari untuk mengakui perasaanmu bisa menyelamatkan kamu dari ledakan besar di waktu yang salah.
6. Mereka Tahu Tombol "Reset" Emosionalnya
Setiap orang butuh tombol reset. Orang yang tenang tahu tombol mereka dan menekannya setiap hari. Ada yang berjalan kaki saat makan siang. Ada yang menyiram tanaman setiap sore. Ada yang masak resep yang sudah hafal di luar kepala.
Intinya, mereka punya ritual sederhana yang bikin otak dan hati merasa: “Oke, semuanya baik-baik saja.” Bedakan ini dengan kebiasaan mati rasa. Scrolling dua jam bisa terasa “me time,” tapi apakah kamu merasa lebih hidup atau lebih hampa setelahnya? Tombol reset sejati akan membuatmu kembali menjadi diri sendiri dan bukan menghilang dari kenyataan.
7. Mereka Menetapkan Batas Tanpa Drama
Banyak orang mengira batasan harus diumumkan dengan megafon. Tapi orang yang tenang menetapkannya secara tenang juga. Mereka tidak ikut drama. Tidak membalas email pasif-agresif. Tidak menjelaskan keputusan pribadi ke semua orang. Mereka cukup berhenti terlibat.
Mereka bisa menolak ajakan yang bikin lelah tanpa merasa bersalah. Menonaktifkan notifikasi setelah jam 8 malam. Atau bilang, "Nanti saja," saat ada yang minta tolong di tengah kesibukan. Mereka peka saat sesuatu terasa “tidak enak” dan membuat penyesuaian sebelum semuanya jadi bom waktu.
Menjadi tenang bukan berarti jadi robot tanpa emosi. Tapi ini soal punya sistem, supaya emosi tidak mengambil alih kemudi. Kebiasaan-kebiasaan kecil ini, kalau dilakukan konsisten, bisa jadi pelindung terbaik dari badai hidup. Bukan karena hidupnya adem-adem saja, tapi karena kamu tahu cara tetap waras di tengah kekacauan.
Komentar
Posting Komentar