Target Pertumbuhan Ekonomi 2026 Dianggap Tidak Realistis

Featured Image

Perbedaan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Tantangan yang Menghadang

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2026 menunjukkan perbedaan pendekatan antara pemerintah dan Bank Indonesia. Hal ini mencerminkan berbagai strategi dalam membaca arah perekonomian di masa depan. M. Rizal Taufikurahman, Head of Center of Macroeconomics and Finance di Indef, menyampaikan bahwa target ambisius yang ditetapkan pemerintah harus didukung dengan reformasi struktural nyata agar tidak terjadi overestimasi.

Kementerian Keuangan dan Bappenas masing-masing memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 5,2%–5,8% dan 5,8%–6,3%. Menurut Rizal, angka-angka ini mencerminkan keyakinan terhadap akselerasi program strategis nasional seperti hilirisasi, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), serta penguatan daya beli melalui belanja sosial. Namun, ia menilai pendekatan tersebut terlalu optimistis dan belum sepenuhnya mempertimbangkan risiko eksternal.

Risiko Eksternal yang Perlu Diperhatikan

Rizal mengingatkan bahwa proyeksi tersebut cenderung normatif dan kurang memperhitungkan ancaman dari luar. Misalnya, pelemahan ekonomi Tiongkok bisa berdampak besar terhadap pasar global. Selain itu, potensi tertahannya pemulihan global akibat fragmentasi geopolitik dan suku bunga global yang tinggi juga menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan.

Sebaliknya, proyeksi Bank Indonesia yang berada pada kisaran 4,7%–5,5% dinilai lebih konservatif dan didasarkan pada kalkulasi makro yang lebih hati-hati. BI mempertimbangkan situasi permintaan domestik yang belum pulih sepenuhnya serta ketidakpastian pasar tenaga kerja pasca pemilu.

Kebijakan Jangka Panjang yang Diperlukan

Rizal menekankan bahwa untuk mendekati target pertumbuhan di atas 5,5%, pemerintah tidak boleh hanya mengandalkan stimulus jangka pendek seperti bantuan sosial atau insentif fiskal boros. Agenda reformasi ekonomi harus dipacu melalui penguatan kapasitas konsumsi rumah tangga secara berkelanjutan, bukan hanya berbasis bansos sesaat.

Selain itu, investasi tidak bisa terus-menerus didorong lewat insentif fiskal yang boros. Pemerintah perlu memastikan realisasi investasi berkualitas yang mampu membangun ekosistem industri, mengisi celah teknologi, dan membuka nilai tambah di sektor-sektor non-tradisional seperti manufaktur teknologi menengah-tinggi, energi terbarukan, dan ekonomi digital berbasis UMKM.

Proyeksi Bank Dunia dan Tantangan Struktural

Proyeksi Bank Dunia yang mematok pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 4,7% pada 2025 dan hanya naik tipis menjadi 5% pada 2027, menunjukkan bahwa reformasi struktural di Indonesia berjalan lambat. Rizal menilai isu-isu lama seperti produktivitas tenaga kerja yang stagnan, efisiensi sektor industri yang rendah, dan belum terintegrasinya rantai pasok domestik secara optimal masih membebani potensi pertumbuhan jangka menengah.

Jika pemerintah tetap mengejar pertumbuhan tinggi di atas 5% tanpa reformasi fundamental, maka risiko overestimasi akan semakin besar, terutama jika belanja fiskal terus menjadi tumpuan utama pertumbuhan tanpa disertai perbaikan efektivitas dan akuntabilitas.

Rekomendasi untuk Kebijakan yang Lebih Realistis

Rizal merekomendasikan agar pemerintah menggunakan pendekatan yang lebih realistis dengan mengacu pada baseline proyeksi Bank Indonesia yang rata-rata berada di 5,02%. Pendekatan ini menggabungkan kehati-hatian makro dengan ruang penyesuaian kebijakan.

Fokus utama ke depan harus pada penguatan permintaan domestik, peningkatan produktivitas UMKM, penciptaan lapangan kerja di sektor bernilai tambah, serta peningkatan kualitas belanja publik khususnya belanja modal yang mendorong capital stock nasional.

Ia mengingatkan bahwa tanpa arah kebijakan yang konsisten, disiplin fiskal yang terjaga, dan tata kelola investasi yang kredibel, narasi makroekonomi yang dibangun pemerintah hanya akan menyisakan deviasi dari kenyataan struktural di lapangan.

Komentar