
Teknologi AI dalam Mendukung Kebiasaan Menyusui
Teknologi kecerdasan buatan (AI) kini mulai memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam membantu ibu-ibu yang sedang menyusui. Dengan adanya AI, proses menyusui bisa menjadi lebih mudah dan efisien, terutama bagi para ibu yang menghadapi tantangan dalam produksi ASI.
Menyusui mungkin terlihat sederhana, tetapi pada kenyataannya, ini adalah aktivitas yang kompleks dan penuh tantangan. Banyak ibu merasa lelah dan kesulitan dalam menjaga produksi ASI yang cukup untuk bayi mereka. Inovasi teknologi seperti AI diharapkan dapat menjadi solusi untuk masalah tersebut.
Pengembangan Model AI untuk Meningkatkan Laktasi
Di University of Florida College of Medicine, tim peneliti telah mengembangkan model AI yang dirancang untuk membantu ibu-ibu dalam meningkatkan laktasi, terutama bagi bayi prematur yang dirawat di unit perawatan intensif neonatal (NICU). Proyek ini dikenal dengan nama MILK+ (Maximizing Initiatives for Lactation Knowledge), yang melibatkan kolaborasi antara dokter, perawat, dan ahli teknologi AI.
Tujuan dari proyek ini adalah untuk mengidentifikasi ibu yang kurang memproduksi ASI dan memberikan dukungan yang tepat agar mereka dapat terus menyusui bayinya. Dengan bantuan AI, tim medis bisa memprediksi risiko kesulitan menyusui sejak awal, sehingga intervensi dapat dilakukan secara dini.
Manfaat Menyusui bagi Ibu dan Bayi
Menyusui memiliki banyak manfaat kesehatan baik bagi ibu maupun bayi. Bagi ibu, menyusui dapat membantu proses pemulihan pasca-persalinan dan menurunkan risiko penyakit seperti tekanan darah tinggi, diabetes, serta kanker payudara dan ovarium. Sementara itu, bagi bayi, ASI membantu perkembangan otak dan pertumbuhan berat badan yang sehat.
Namun, banyak orang masih salah paham bahwa menyusui adalah proses alami yang mudah. Faktanya, proses ini bisa sangat menantang, terutama bagi ibu yang memiliki bayi prematur atau membutuhkan perawatan intensif.
Peran AI dalam Prediksi Risiko Menyusui
Dalam proyek MILK+, dua model AI dikembangkan untuk membantu memprediksi risiko kesulitan menyusui. Model prenatal digunakan untuk menganalisis data pasien sebelum kelahiran, seperti riwayat kesehatan, informasi demografis, dan kondisi sosial ekonomi. Model postnatal, di sisi lain, menggunakan data produksi ASI selama masa rawat inap di rumah sakit untuk memprediksi kemampuan ibu dalam menyusui setelah pulang.
"Sebelum bayi lahir, kami hanya memiliki informasi dari ibu, tetapi informasi tersebut tetap memberi tahu kami sesuatu," kata Tanja Magoc, Ph.D., direktur asosiasi tim AI/QI. Setelah bayi lahir, kami memiliki lebih banyak data, yang memandu pengembangan dua model berbeda karena ada dua titik intervensi yang berbeda.
Data yang Digunakan dalam Pengembangan Model AI
Pengembangan model AI ini didasarkan pada data dari ribuan ibu dan bayi. Untuk model prenatal, data dari sekitar 18.000 ibu yang menerima perawatan di rumah sakit selama sembilan tahun digunakan. Sementara itu, model postnatal dibangun berdasarkan data dari lebih dari 22.000 bayi baru lahir selama delapan tahun.
"Kami mengamati ratusan fitur berbeda dari ibu dan bayi, seperti demografi, riwayat medis, dan obat-obatan yang mereka konsumsi. Dari sana, model AI membantu kami menyaring informasi mana yang penting bagi perkembangan ASI ibu," ujar Magoc.
Kolaborasi Antara Tim Klinis dan Teknologi AI
Proyek ini juga melibatkan kolaborasi besar antara tim klinis dan ahli teknologi AI. Hu, salah satu pimpinan proyek, menjelaskan bahwa model-model ini memberikan prediksi yang sangat baik, dengan model postnatal mencapai akurasi hingga 95 persen.
Selain itu, model-model ini juga menyediakan daftar 10 faktor utama yang berkontribusi terhadap kemampuan ibu dalam menyusui. Daftar ini akan terus disempurnakan seiring model tersebut terus mensintesis data dari sampel pasien yang lebih besar.
Tantangan dan Harapan Masa Depan
Meski model AI ini menunjukkan hasil yang menjanjikan, Hu mengingatkan bahwa model ini masih dalam tahap awal. "Kami masih dalam tahap awal dalam hal intervensi, tetapi model ini telah membantu kami untuk mengembangkan jalur identifikasi pasien yang paling rentan mengalami kegagalan laktasi saat masuk dan selama bayi mereka dirawat," katanya.
Untuk pasien-pasien yang berisiko tinggi, tim sedang mengembangkan protokol standar untuk memastikan dukungan diberikan tepat waktu. Jika seorang pasien sudah ditandai berisiko tinggi, tim diminta untuk memeriksa mereka lebih awal dan memberikan layanan konsultasi laktasi.
Harapan besar diucapkan oleh Hu bahwa model-model ini dapat diperluas ke fasilitas-fasilitas UF Health lainnya di seluruh negara. "Penting untuk memiliki komunikasi yang baik antara sisi klinis dan sisi AI ketika mengembangkan model seperti ini. Tujuannya adalah agar dapat menempatkan berbagai hal dalam konteks dan benar-benar menekankan hal-hal yang benar-benar dapat ditindaklanjuti," ujarnya.
Namun, ia juga menekankan bahwa model AI tidak boleh memengaruhi penilaian medis secara tidak adil. "Kami juga sangat menyadari bahwa model tersebut mungkin memiliki penilaian yang bias yang tidak sepenuhnya kami sadari," katanya.
Model AI ini hanya akan berjalan baik sebaik data yang digunakan untuk melatihnya. "Kami memiliki populasi pasien tertentu yang sering terwakili dan populasi lain yang tidak. Jadi, sangat penting untuk mengingat bahwa ini masih berupa prediksi. Pasien yang datang dengan skor risiko yang sangat tinggi akan menerima dukungan yang sama seperti yang kami berikan kepada siapa pun."
Komentar
Posting Komentar