Sejarah Vaksin Campak: Inovasi, Tantangan, dan Dampak

Featured Image

Sejarah dan Perkembangan Vaksin Campak

Sebelum vaksin ditemukan, manusia hanya memiliki sedikit cara untuk mencegah penyebaran campak. Upaya utama terbatas pada diagnosis dini dan penerapan pembatasan sosial agar wabah tidak menyebar lebih luas. Kini, vaksin yang mengandung komponen campak menjadi salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang paling efektif. Namun, pada tahun 2022, sekitar 136.000 orang tetap meninggal akibat penyakit ini, naik 43 persen dibanding tahun sebelumnya.

Campak bukan hanya berisiko fatal, tetapi juga bisa menyebabkan kebutaan pada anak-anak di negara-negara miskin. Selain itu, penyakit ini dapat memicu gangguan pendengaran, kecacatan neurologis, serta membuat penderita lebih rentan terhadap infeksi lain. Fakta-fakta ini mendorong para ilmuwan untuk mencari perlindungan yang lebih kuat. Dari pengamatan tentang kekebalan pasca-infeksi hingga upaya melemahkan virus di laboratorium, vaksin campak lahir pada awal 1960-an, diikuti dengan formulasi kombinasi MMR. Proses ini menjadi bagian penting dalam sejarah kesehatan masyarakat.

Penyakit Paling Menular dalam Sejarah

Campak adalah salah satu penyakit paling menular yang pernah dihadapi manusia. Penyakit ini sudah dideskripsikan sejak abad ke-9 oleh Abū Bakr Muhammad Zakariyyā Rāzī, seorang tabib Persia. Penyebarannya makin meluas seiring penjelajahan global pada abad ke-16. Pada 1757, Francis Home, seorang dokter Skotlandia, menemukan bahwa campak disebabkan oleh patogen, dengan menularkan penyakit tersebut kepada individu sehat menggunakan darah pasien yang terinfeksi.

Wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak pernah terpapar virus campak sangat rentan. Contohnya, wabah virus ini melumpuhkan komunitas terpencil seperti Kepulauan Faroe pada 1846, Hawaii pada 1848, Fiji pada 1875, dan Rotuma pada 1911. Sebelum vaksinasi, campak telah lama bersifat endemik di seluruh dunia, dan tetap menjadi penyakit epidemik berskala global.

Di negara-negara maju, kemajuan kesehatan masyarakat termasuk perbaikan gizi membuat angka kematian menurun pada abad ke-20. Meski antibiotik tidak efektif melawan virus campak, mereka membantu menangani komplikasi seperti pneumonia bakteri. Namun, komplikasi seperti infeksi telinga, croup, diare, dan pneumonia tetap menyebabkan ribuan perawatan inap setiap tahun. Ensefalitis, yang merupakan komplikasi serius, bisa menyebabkan kerusakan otak, kehilangan pendengaran atau penglihatan, hingga kematian.

Secara global, angka kematian masih tinggi, dengan sekitar 30 juta kasus dan lebih dari 2 juta kematian terjadi setiap tahun.

Terobosan Ilmiah: 1954–1963

Pada 1954, sebuah wabah campak di sekolah asrama di Boston, AS, memberikan kesempatan bagi para dokter di Boston Children’s Hospital untuk mengisolasi virus campak. Thomas Peebles, MD, berhasil mengisolasi virus dari bocah bernama David Edmonston, yang memungkinkan perbanyakan virus dan penciptaan vaksin pertama melawan campak.

John Franklin Enders, yang dikenal sebagai “bapak vaksin modern,” mengembangkan vaksin campak dari galur “Edmonston-B.” Vaksin ini dipuji 100 persen efektif dan mendapat lisensi publik pada 1963. Negara-negara mulai memperkenalkan program vaksinasi massal sejak 1960-an, dan kampanye internasional pertama berlangsung di Afrika sejak 1966.

Ekspansi Program Vaksinasi: 1960-an

Mulai 1960-an, banyak negara memperkenalkan program vaksinasi massal terhadap campak. Kampanye internasional pertama digelar di Afrika sejak 1966. WHO bekerja sama dengan pemerintah lebih dari 20 negara baru merdeka di Afrika barat dan tengah, serta USAID dan CDC, untuk memberikan vaksinasi dengan tujuan mengendalikan campak dan memberantas cacar.

Meski menghadapi tantangan seperti rantai dingin untuk vaksin yang peka panas, kampanye ini membuktikan efektivitas vaksinasi. Pada Mei 1967, Gambia menjadi negara pertama di dunia yang menghentikan transmisi virus campak.

Penyempurnaan Vaksin: 1968–2005

Pada 1968, Dr. Maurice Hilleman melemahkan virus dengan melewatkannya melalui sel embrio ayam sebanyak 40 kali, menghasilkan vaksin dengan efek samping lebih ringan. Versi yang lebih lemah ini, dikenal sebagai galur Edmonston–Enders, dikembangkan menjadi beberapa galur yang masih digunakan pada vaksin campak hingga sekarang.

Tahun 1971, Hilleman menggabungkan vaksin campak, gondongan, dan rubella menjadi vaksin MMR—diberikan sebagai satu suntikan, diikuti satu dosis penguat. Pada 2005, vaksin varisela ditambahkan, membentuk MMRV. Vaksin campak tunggal tetap tersedia di banyak negara.

Penguatan Sistem Imunisasi Global: Sejak 1974

Pada 1974, campak menjadi salah satu penyakit pertama yang menjadi target WHO saat mendirikan Expanded Programme on Immunization (EPI), kini dikenal sebagai Essential Programme on Immunization. Vaksinasi anak yang meluas telah menurunkan angka penyakit secara drastis di skala global. WHO merekomendasikan vaksinasi pada usia 9 bulan di wilayah yang campaknya umum, dan pada usia 12–15 bulan di wilayah lain.

Dosis kedua direkomendasikan untuk semua anak, sangat penting untuk melindungi sekitar 15 persen anak yang belum membentuk kekebalan protektif setelah dosis pertama.

Kemunduran Sementara Akibat Makalah yang Bermasalah

Pada 1998, terjadi kemunduran kecil ketika sebuah makalah yang bermasalah terbit dalam jurnal The Lancet dan mengklaim kaitan vaksin MMR dengan autisme tanpa bukti ilmiah kuat. Dampak publikasi itu—ditambah misinformasi kelompok antivaksin—menyebabkan penurunan cakupan vaksinasi di bawah ambang perlindungan komunitas dan memicu kembali meningkatnya kasus campak di Inggris dan Wales, serta di beberapa bagian AS dan Kanada.

Pada 2010, British General Medical Council menyatakan penulis utama studi tersebut melakukan pelanggaran etik. Makalahnya ditarik dari jurnal The Lancet, dan penulisnya dilarang praktik kedokteran.

Dampak Global Vaksinasi dan Tren Terkini

Antara tahun 2000–2023, vaksinasi campak mencegah lebih dari 60 juta kematian di seluruh dunia. Namun, meskipun vaksin aman dan efektif secara biaya tersedia, kematian global akibat campak sempat meningkat sebelum pandemi COVID-19. Pada 2019, tercatat lebih dari 207.000 kematian akibat campak secara global, bersamaan dengan jumlah laporan kasus tertinggi dalam 23 tahun.

Sejak 1974, vaksinasi telah mencegah 154 juta kematian, dengan kontribusi terbesar—93,7 juta nyawa terselamatkan—berasal dari vaksinasi campak.

Pasca Pandemi, Cakupan Vaksinasi Mandek

Meskipun proporsi anak yang menerima dua dosis vaksin yang mengandung komponen campak meningkat secara signifikan sejak tahun 2000, tingkat imunisasi dalam beberapa tahun terakhir mengalami stagnasi. WHO merekomendasikan dua dosis vaksin agar anak terlindungi sepenuhnya dari campak, tetapi pada tahun 2023, hanya 74 persen anak di seluruh dunia yang menerima kedua dosis tersebut (66 persen di negara-negara berpendapatan rendah).

Untuk membantu membalikkan tren ini, pada Mei 2024 Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (Gavi) meluncurkan kampanye imunisasi kejar terbesar sepanjang sejarahnya, dengan target menjangkau hingga 100 juta anak di 20 negara Afrika.

Kekebalan Kelompok dan Pentingnya Imunisasi

Virus campak adalah salah satu agen infeksi paling menular di planet ini: satu orang yang terkena campak dapat menularkan hingga 18 orang lainnya. Artinya, porsi yang sangat besar dari populasi perlu divaksinasi agar tercapai kekebalan kelompok—kondisi di mana bahkan mereka yang tidak bisa divaksinasi atau tidak merespons vaksin secara optimal tetap terlindungi karena virus tidak lagi menemukan orang baru untuk ditulari.

Dalam kasus campak, 95 persen populasi perlu diimunisasi untuk mencapai kekebalan kelompok. Di bawah ambang ini, wabah dan kematian yang sebenarnya dapat dicegah akan terus terjadi. Itulah sebabnya imunisasi rutin dan kampanye imunisasi kejar sangat penting.

Komentar