
Teater Koma Mengangkat Cerita Semar dalam Nuansa Fiksi Ilmiah
Semar duduk di kursi cilik berwarna putih dengan raut wajah linglung. Ia mengenakan pakaian berbahan sorban yang diperankan oleh Budi Ros, dan diculik oleh lima agen dari Kekaisaran Nimacha. Panggung yang semula gelap kini lampu menyoroti perasaan bingung Semar. Duduk lesu di kursi, ia berteriak ingin pulang ke kampung halamannya, meneriakkan nama istrinya, Sutiragen (Rita Matu Mona), Petruk (Dana Hassan), Gareng (Emanuel Handoyo), dan Bagong (Nino Bukir).
Pentas Teater Koma ke-235 berjudul Mencari Semar karya sutradara Rangga Riantiarno dipentaskan di Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan pada 13 hingga 17 Agustus 2025. Mengangkat lakon wayang dengan Semar sebagai tokoh utama, karakternya berperan seputar posisinya sebagai Panakawan bijak yang menyimpan pusaka sakti bernama Jimat Kalimasada dalam tubuhnya di masa pensiunnya. Seiring berjalannya waktu, Kekaisaran Nimacha, sebuah peradaban futuristik yang hidup berdasarkan Perintah Utama menghadapi ancaman kepunahan akibat perintah yang telah berkali-kali ditulis ulang sehingga lima agen diutus untuk mencari jalan keluar.
Para agen ini meriset hingga akhirnya menemukan catatan sejarah tentang Kalimasada dan meyakini bahwa jimat itu mampu menulis ulang Perintah Utama. Demi menguasainya, para agen ditugaskan untuk mencari Semar dan membawanya ke Ruang Putih, ruang ilusi yang dirancang untuk menarik keluar Kalimasada. Dengan jimat Kalimasada yang ada di tubuhnya, Semar mampu berperan menjadi guru, pendamping, pembimbing, pemberi solusi sekaligus penolong bagi para penguasa.
Panggung Teater Koma Bernuansa Fiksi Ilmiah
Di awal pementasan, panggung dihiasi dengan ornamen-ornamen bernuansa fiksi ilmiah, kala robot-robot berbaris sembari bernyanyi. Kehadiran robot-robot itu mengantarkan bagian cerita yang menampilkan lima agen kekaisaran Nimacha, yang diperankan oleh Agen 01 (Lutfi Ardiansyah), Agen 02 (Dodi Gustaman), Agen 03 (Sir Ilham Jambak), Agen 04 (Andhini Puteri), dan Agen 05 (Ina Kaka). Tiap gerakan para agen ini punya karakternya masing-masing sebagai robot yang lucu dan menghibur. Agen 03 beberapa kali menarik penonton seolah andil dalam pementasan, sementara Agen 05 mengeluarkan suara-suara khas komputer rusak atau sedang loading.
Kehadiran pertama Semar, Sutiragen, Petruk, Gareng, dan Bagong di atas panggung ditandai dengan perubahan set panggung seperti di istana zaman dahulu kala nan asri. Tiap dialog kelima karakter ini sering kali bersentuhan secara konteks dengan situasi budaya dan politik masa kini, tentu saja dengan nada mengkritisi.
Petruk, Gareng, dan Bagong menghidupkan suasana panggung dengan sentilan kepada pemerintah ketika penonton telah disuguhi dialog panjang. “Hati-hati soal memilih, salah pilih dampaknya bisa lima tahun ke depan.” Padahal konteks dialog sebenarnya mereka berdiskusi memilih lagu yang hendak dinyanyikan.
Suasana bak keluarga cemara ditampilkan dalam set itu, hingga Gareng dan Petruk menemani ibunya, Sutiragen, berbelanja ke pasar. Sementara Bagong menemani Semar di rumah. Di sinilah konflik dimulai, saat lima agen kekaisaran Nimacha muncul di hadapan Semar dan Bagong. Sebagai anak bungsu yang manja, Bagong berusaha menjaga ayahnya dari ancaman, namun dia kalah. Semar yang berupaya membela diri, dua kali mengeluarkan jurus andalannya, kentut, pun tak mampu menghalau kelima agen untuk membawanya ke ruangan putih.
Sentilan Ijazah dan Ilusi Waktu
Dalam proses penculikan Semar, pentas menyinggung soal kekuasaan. Semar yang tak terima bakal dicuri, menunjukkan narasi bahwa dirinya orang sakti. Namun kelima agen tak percaya. “Apa buktinya kamu sakti atau dewa? Coba tunjukkan ijazah kamu kalau beneran sakti?” kata Agen 01. Agen 03 menimpali, “Sejak dulu sudah ada aturan dari Kekaisaran Namachi bahwa kamu harus menunjukkan bukti kesaktian. Sudah diatur dalam UUD, undang-undang dewa,” katanya.
Di ruangan putih, Semar dihadapkan dengan ragam fakta, seperti kenyataan bahwa satu kampungnya hidup dalam ilusi waktu sebab sebenarnya manusia sudah punah. Semar yang kebingungan memandang robot-robot secara visual, semakin bingung dengan pernyataan agen itu. Semar nyatanya hidup dalam lingkaran waktu yang berfokus pada masa pensiunnya. “Saya menunjukkan Semar menghargai semua bentuk kehidupan, welas asih terhadap makhluk lain. Buat Semar semua makhluk harus disayangi,” ujar Rangga.
Sementara Sutiragen sepulang dari pasar mendapati laporan Bagong bahwa Semar diculik, dan tidak terima. Ia memanggil empat panakawan lainnya, Cangik (Daisy Lantang), Limbuk (Ariyunda Anggayasti), Togog (Bayu Dharmawan Saleh), dan Edopaha (Bilung). Dalam perjalanannya pencarian Semar hingga keluar kampung, mereka juga menyadari bahwa selama ini hidup dalam ilusi waktu.
Kritik Sosial dalam Pementasan
Kritik sosial lainnya muncul dalam set 10 warga yang menjunjung tinggi kepala desanya. Pak Kades (Zulfi Ramdoni) punya gerak gerik dengan pejabat masa kini yang lebih mementingkan citra di media sosial. Hal itu dibuktikan saat warga memuji peran Pak Kades yang mampu memusnahkan hama hingga berhasil panen warga, si Pak Kades mengarahkan gawainya sembari siaran langsung. Pemotretan bersama warga tersebar di sana-sini. “Kalau kalian sudah senang sama saya, silakan kembali ke barak! Eh maksudnya ke rumah kalian masing-masing,” kata Pak Kades.
Menjelang pengujung pementasan, narasi yang disodorkan adalah, Semar berhasil dibebaskan oleh agen Nimacha. Semar mengatakan kekuatannya sudah kembali nyaris penuh, sehingga dengan sekali kentut saja bisa memusnahkan lima agen itu. Tentu saja itu membuat kelima agen ketakutan, karena niat awal mengambil jimat Kalimasada agar mereka tak mati sebab sudah terancam oleh kepunahan.
Sekembalinya di kampung, Semar menyampaikan ke keluarganya dan empat anggota panakawan lainnya bahwa mereka hidup dalam ilusi waktu. Ia menekankan, kesaktian dan kekuasaan yang mereka miliki hanyalah ilusi semata. Lebih dari itu, dalam dua kali selama pementasan, layar lebar di belakang menampilkan berbagai masalah sosial di masyarakat bahkan cuplikan demonstrasi.
Tantangan Padukan Wayang dan Futuristik
Menampilkan lakon wayang yang berada di masa lampau dipadu dengan futuristik di masa yang akan datang menjadi tantangan sendiri bagi Rangga Riantiarno. Imajinasi penonton pun diuji, seperti dengan set istana zaman kuno namun mendapatkan Gareng memegang gawai sembari memesan ojek online. “Selama latihan terjadi berbagai diskusi lanjutan dan penemuan-penemuan baru hingga mencapai bentuk pemanggungan yang tersaji seperti saat ini,” kata Rangga.
Ia merasa secara keseluruhan pementasan sudah mencapai kesempurnaan 95 persen, tinggal menyempurnakan pencahayaan dan musikalitas. Selama pementasan uji coba, Rangga menuturkan pedoman utamanya teks dalam naskah meski sekitar 20 persen improvisasi dari pemain di atas panggung. “Kami dari dua setengah bulan latihan intens. Jadi narasi gampang ditangkap pemain, misalnya dulu semar dianggap penasehat yang bijak tapi muncul pertanyaan apakah saat ini manusia masih bertanya pada Semar, lalu kemunculan AI juga,” katanya.
Dalam pentas ini, ada 12 lagu yang liriknya ditulis oleh Rangga guna mendampingi tiap-tiap set dan adegan. Sementara komposisi musik digubah oleh Fero A. Stefanus dengan total durasi sekitar 30 menit. Namun ia tak melabeli pentas kali ini sebagai lakon musikal. Ia pun menggandeng perancang gerak Ratna Ully, perancang busana Rima Ananda Omar, perancang rias Sena Sukarya, pengarah teknis Tinton Prianggoro, manajemen panggung Bayu Dharmawan Saleh, perancang cahaya Fajar Okto, dan skenografi Deden Bulqini.
Produser, Ratna Riantiarno, mengatakan selalu ada diskusi naskah kemudian reading, dan berlanjut ke proses latihan. Untuk pementasan ini, latihan dilakukan 50 kali dengan waktu sekitar tiga bulan. “Naskahnya dari penulisnya sendiri, kalaupun memang di dalam perjalanan ada yang perlu diubah bisa didiskusikan agar pemahamannya semua sama. Barangkali membaca naskah saja interpretasinya terbatas, tapi paling tidak kalau baca naskahnya saja sudah asing dan terasa baru itu kami tertarik,” tuturnya.
Ia menyadari Teater Koma yang telah bergulir sejak Maret 1977 itu punya tantangan yang tak gampang, namun Ratna menekankan pentingnya kekeluargaan. Misalnya Budi Ros sejak muda hingga saat ini sudah memiliki keturunan masih bisa berperan sebagai pemeran utama Semar. “Banyak produksi yang membuka audisi untuk pementasan namun Teater Koma tak seperti itu, itu tujuannya bisnis kan. Kami tak menganggap Teater Koma sebagai bisnis karena paling setahun dua kali mengadakan pagelaran,” katanya.
Komentar
Posting Komentar